Pasca disahkannya penghapusan Ujian Nasional (UN), Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) akan memulai menerapkan kebijakan Asesmen Nasional pada 2021 sebagai pengganti Ujian Nasional yang telah dihapus. Sebelumnya, Ujian Nasional selalu dijadikan sebagai standar kelulusan dan sebagai ujian akhir di setiap jenjang pendidikan.
Menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim, kebijakan Asesmen Nasional 2021 akan diselenggarakan pada setiap jenjang pendidikan dan di setiap daerah di seluruh Indonesia.
Dalam rangka mendorong perbaikan mutu pembelajaran dan hasil belajar peserta didik Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengundang para pemangku kepentingan untuk memberikan masukan terhadap rencana penerapan Asesmen Nasional pada 2021. Asesmen Nasional tidak hanya dirancang sebagai pengganti Ujian Nasional dan Ujian Sekolah Berstandar Nasional, tetapi juga sebagai penanda perubahan paradigma tentang evaluasi pendidikan.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Anwar Makarim mengatakan perubahan mendasar pada Asesmen Nasional adalah tidak lagi mengevaluasi capaian peserta didik secara individu, akan tetapi mengevaluasi dan memetakan sistem pendidikan berupa input, proses, dan hasil.
“Potret layanan dan kinerja setiap sekolah dari hasil Asesmen Nasional ini kemudian menjadi cermin untuk kita bersama-sama melakukan refleksi mempercepat perbaikan mutu pendidikan Indonesia,” ucap Mendikbud saat Webinar Koordinasi Asesmen Nasional di Jakarta yang dihadiri oleh jajaran Dinas Pendidikan dari seluruh Indonesia, dan perwakilan Kementerian Agama, Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP), serta Balai Pengembangan Pendidikan Anak Usia Dini (BP PAUD) pada Selasa (06/10/2020).
Asesmen Nasional 2021 adalah pemetaan mutu pendidikan pada seluruh sekolah, madrasah, dan program keseteraan jenjang sekolah dasar dan menengah. Asesmen Nasional terdiri dari tiga bagian, yaitu Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), Survei Karakter, dan Survei Lingkungan Belajar.
Mendikbud melanjutkan, AKM dirancang untuk mengukur capaian peserta didik dari hasil belajar kognitif yaitu literasi dan numerasi. Kedua aspek kompetensi minimum ini, menjadi syarat bagi peserta didik untuk berkontribusi di dalam masyarakat, terlepas dari bidang kerja dan karier yang ingin mereka tekuni di masa depan.
“Fokus pada kemampuan literasi dan numerasi tidak kemudian mengecilkan arti penting mata pelajaran karena justru membantu murid mempelajari bidang ilmu lain terutama untuk berpikir dan mencerna informasi dalam bentuk tertulis dan dalam bantuk angka atau secara kuantitatif,” jelas Mendikbud.